Rabu, 16 Maret 2016

“Melihat Realitas, Meretas Arah, Menentukan Langkah”



Momentum dan tahapan pemilihan Kepala Daerah serentak di se-Indonesia telah berakhir kemarin tanggal 17 Februari 2016. Terlepas dari persoalan sengketa dari sebagian kepala daerah yang masih bergulir di Mahkamah Konstitusi, proses pengucapan sumpah yang ditandai dengan pelantikan serentak kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih se-Indonesia berjalan hikmat dan lancar. Dengan demikian kita sebagai masyarakat tinggal menunggu aksi nyata dari janji mereka yang telah disampaikan pada masa kampanye lalu.
Tentunya untuk merealisasikan program, para kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah pasti bergerak sesuai dengan visi-misinya. Visi yang kemudian menjadi dasar dalam mewujudkan pembangunan daerah. Seperti dalam catatan F.D. Nasir, apabila kita ingin mencapai suatu kondisi yang lebih baik pada masa yang akan datang, maka keinginan tersebut akan mudah dicapai apabila kita memiliki gambaran yang jelas. Visi adalah melihat sejauh mungkin ke depan, bertitik tolak dari apa yang kita lihat di masa kini. Inilah yang disebut “visi”, visi merupakan gambaran yang kita lihat pada masa yang akan datang. Ringkasnya visi adalah mimpi, tetapi mimpi yang mungkin menjadi kenyataan (dream come true), bukan utopia (khayalan) tanpa pijakan. Dengan kata lain visi merupakan mimpi yang berlandaskan kenyataan.
Berangkat dari pandangan tersebut, maka Visi bukanlah angan-angan yang jauh tinggi melayang tanpa pijakan atau sadaran. Dengan kata lain visi adalah cara pandang kita tentang diri dan lingkungan seperti organisasi, daerah, wilayah regional, dan lain sebagainya. Pandangan itu tentang prototype masa depan yang diinginkan atau diimpikan, namun tetap bertitik tolak dari realitas atau kenyataan yang ada. Kenyataan artinya kondisi empirik yang ada, dalam konteks pembangunan daerah yang dimaksud adalah potensi yang ada yang dapat kita gunakan atau berdayakan untuk mengejar “mimpi” tersebut.
Nah, untuk Provinsi Maluku Utara umumnya dan Kota Ternate secara khusus, yang secara totalitas memiliki karakter budaya yang kuat, yang sudah mengakar dari zaman dahulu sejak hadirnya Kerajaan Ternate, sudah tentu harus mempunyai visi yang berlandaskan kearifan lokal. Masih teringat jelas ketika saya pertama kali bertemu dengan Kang Dedi Mulyadi (Bupati Purwakarta) pada oktober 2013 silam di Bandung, beliau begitu terperinci menjelaskan visi pembangunan daerah yang bertolak dari kearifan lokal.
Beliau mengatakan “hal yang paling terpenting dalam mewujudkan pembangunan adalah bagaimana mengembangkan sesuatu itu berdasarkan potensi yang dimiliki atau berdasarkan karakter yang dimiliki”. Kita memiliki potensi perikanan, perkebunan, berbagai potensi yang dimiliki. Termasuk potensi-potensi yang bersifat identiti lokal masyarakat..
Nah, kerangka itulah yang perlu dikembangkan. Karena, tidak ada kekuatan untuk membangun sebuah bangsa kecuali berasal dari kekuatan bangsa itu sendiri. Kekuatan bangsa sebenarnya kan kekuatan kultur wilayahnya. Kekuatan kultur wilayahnya ditopang oleh kekuatan manusianya. Sehingga menurut saya, setiap orang harus terintegrasi dengan potensi di sekitarnya. Nah, inilah yang ingin dikembangkan. Dalam sisi idealisme, ini sebenarnya sebuah kerangka berpikir jangka panjang yang tidak mungkin dicapai dalam waktu lima tahun. Tetapi obsesi harus dimiliki oelh kepala daerah saat ini adalah meletakkan kerangka dasar yang kuat.
Karena selama ini, ketika memimpin sebuah daerah, kebanyakan ingin membuat yang instan saja dan berpikirnya dalam parameter lima tahun atau parameter sepuluh tahun. Yang pastinya kita semua ingin setiap kepala daerah membangun parameter jauh lebih ke depan dengan memanfaatkan waktu yang lima tahun ini membuat fondasi yang kuat tentang Kota Ternate. Karena dengan kekuatan itulah kita akan mempunyai daya tahan.
Yang ingin saya katakan bahwa, ketika kita mempunyai keyakinan untuk melakukan sebuah perubahan maka yang terpenting adalah bagaimana kita sebagai individu dan juga masyarakat ikut merumuskan visi pembangunan daerah dengan merujuk pada kearifan lokal, sebagai identitas kita, dengan sungguh-sungguh/ikhlas dalam bekerja. Besar harapan kami kepada Walikota dan Wakil Walikota yang baru bisa mengaplikasikan hal tersebut, karena sesungguhnya kita sebagai putra daerah tentunya ingin menghindari apa yang disebut dengan “Orang Ternate hilang ke-Ternate-annya”.

Selasa, 26 Januari 2016

Konflik Sosial; salah siapa.?



Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berkewajiban mentaati semua perintahnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa manusia juga merupakan makhluk sosial yang melakukan interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik berupa aksi saling mempengaruhi antara individu dan individu, individu dan kelompok serta antara kelompok dan kelompok. Dalam melakukan proses interaksi sosial ini kadang terjadi perbedaan pendapat diantara masyarakat yang nantinya akan menjadi sebuah konflik. Konflik merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindarkan dari manusia yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Bisa dikatakan bahwa konflik merupakan suatu proses sosial antara satu orang atau lebih yang mana salah seorang di antaranya berusaha menyingkirkan pihak lain. Seperti yang dikatakan salah satu teori dari Karl Marx yang melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Kalau kita melihat dari teori tersebut, bias disimpulkan bahwa sebagai masyarakat tidak bisa menghindari adanya konflik yang pastinya akan terjadi di kehidupan kita. Konflik juga tidak begitu saja muncul tapi konflik mempunyai sumber-sumber yang menjadi patokan atau pemicu munculnya konflik antar individu maupun antar kelompok sosial.
Terkait dengan pandangan tersebut, maka apa yang terjadi di Kota Ternate pada minggu dini hari bisa dikatakan adalah sebuah “cambuk” bagi kita semua, terkhusus Pemerintah Daerah. Konflik yang berawal dari hal sepeleh antar individu ini kemudian merembet pada konflik antar kelompok, dan tidak lain adalah pemicunya dimulai dari minum keras (miras), kemudian mabuk dan terjadilah gesekan, apalagi terbawah dengan ego kelompok. Konflik seperti bukan kali pertama terjadi di Ternate, bahkan bukan hanya Ternate tetapi beberapa daerah lainnya di Maluku Utara. Pertanyaan penting yang muncul yaitu, dimana posisi Negara (pemerintah daerah dan aparat keamanan) ketika sebelum terjadi konflik, dan pada saat terjadi konflik.? Kemudian bagaimana mengatasinya?
Tidak bisa dipungkiri bahwa Kota Ternate adalah miniaturnya Maluku Utara. Segala kelompok masyarakat dengan latar belakang ras/suku/golongan yang berbeda mendiami Kota Ternate, maka sudah sepatutnya pemerintah daerah bisa mengantisipasi segala kemungkinan. Bukankah Pemda bisa belajar dari konflik ataupun gesekan sebelumnya antara kelompok atau kelurahan yang satu dengan kelurahan lainnya. Ternyata tidak sama sekali.
Konflik yang terjadi pada minggu dini hari adalah karena lemahnya Negara. Negara (Pemerintah daerah dan aparat keamanan) tidak mampu mengendalikan/mengontrol, & mengawasi masyarakatnya. Bahkan tidak mampu menjadi perekat. Elemen terkecil dalam pemerintahan, RT/RW/Lurah tidak mampu berperan aktif. Bukankah sebelumnya sudah ada edaran dari Pemerintah Kota Ternate tetang larangan acara kawinan (pesta)/hura-hura yg "berlebihan".? Yang lebih parah lagi ketika konflik yang sudah terjadi tidak diselesaikan dengan cara persuasif, bahkan justru sebaliknya, agresif. Bukankah hal itu bisa dihindari jika perangkat-perang tersebut bisa bergerak lebih cepat dan jauh-jauh sebelumnya? Bukankah kita adalah masyarakat beradab, berjiwa sosial, tenggang rasa. Bukankah kita dibesarkan dengan budaya baku lia, baku jaga, deng baku bawah bae-bae.? Dan semua itu seperti tak ada artinya. Ternyata pemda GAGAL mengawasi masyarakatnya, gagal memberikan pemahaman yg baik.
Olehnya itu, kita harus belajar banyak dari apa yang sudah terjadi saat ini. Sebagai bentuk penegasan, Pemerintah Daerah harus membuat suatu kebijakan konkrit seperti membenahi perangkat paling terkecilnya, diantaranya mengoptimalkan peran RT/RW, Lurah, Camat, Posko Kemanan Lingkungan (Poskamling). Selain itu melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda untuk ikut berperan aktif, menggerakan masyarakat lewat kegiatan-kegitan sosial dengan melibatkan aparat keamanan agar disatu sisi ada sebuah harmonisasi yang terjalin, dan yang terpenting adalah bagaimana pemerintah daerah membuat sebuah regulasi atau peraturan daerah (Perda) tentang acara ceremonial (yang bersifat hura-hura) yang secara tidak langsung dapat mengganggu ketertiban umum , seperti orang kawin/pesta, pawai/konvoi dan lain sebagainya.
Karena pada dasarnya kita sebagai manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Sehingga dipelukan suatu hubungan yang harmonis agar kita dapat menjalani kehidupan ini dengan baik. Disinilah peran sikap tenggang rasa sangat diperlukan, di mana untuk mewujudkan suatu hubungan yang harmonis antar sesama, kita harus bisa saling menghargai dan menghormati perasaan orang lain.
"Ternate adalah TORANG, bukan DIA, NGANA atau KITA. tapi TORANG SAMUA..!!” .



Selasa, 27 Oktober 2015

-Pemilih Yang Cerdas Untuk Pemimpin Yang Cerdas-


     
Momentum pemilihan Kepala Daerah serentak 2015 akan memasuki tahap baru, di mana moment politik ini akan dihelat serentak di seluruh Indonesia pada  9 Desember 2015 nanti. Untuk 8 dari 10 kabupaten kota  yang ada di Provinsi Maluku Utara juga ambil bagian dalam proses demokrasi lima tahunan ini. Maka dalam waktu dekat, masyarakat yang ada di 8 kabupaten kota tersebut sudah memiliki pemimpin baru.
Akan tetapi kasak-kusuk sekilas munculnya calon Bupati-Wakil Bupati ataupun Walikota-Wakil Walikota sudah sangat tampak di hadapan publik,  baik memakai metodologi publikasi seperti spanduk,baliho, stiker. Bahkan melalui media massa. Semuanya itu merupakan tahapan awal untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Dari rentetan pergerakan para kandidat seperti itu, masyarakat kembali diperhadapkan pada pilihan kontraversial, dimana hegemoni cara berpikir basis elektoral yang super pluralistic. Dan ini sangat membuka peluang munculnya dinamika politik baru yang ekstra transaksional.
Merujuk pada setiap momentum politik lokal sebelumnya seperti Pilgub dan Pileg 2014, selalu muncul fenomena perpolitikan baru yang sifatnya insidentil yang  kadang berakibat hilangnya nilai serta kaidah berdemokrasi yang sesungguhnya. Kendati begitu,  demokrasi prosedural tetap saja berada di atas pusaran demokrasi pragmatis.
      Tentunya ini menjadi penyakit kronis yang ada cara penanganannya, sehingga konstitusi sebagai kitab tertinggi di negara ini hanya menjadi hiasan sejarah yang tabu untuk diaktualisasikan. Penyelenggaran negara semakin paranoid dan prematur dalam mengimplementasikan hirarki produk perundang-undangan kita.
      Pemilihan Kepala Daerah pada 9 Desember nanti menjadi catatan kritis yang harus dipegang oleh semua kalangan. Tentunya masyarakat dihimbau agar realistis melihat siapa saja figur yang bisa konsisten menjalankan amanah masyarakat. Figur yang dimaksud adalah mampu mengimplementasikan program-program rill untuk kesejahteraan rakyat. Tak hanya itu, figur yang dimaksud adalah mampu menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi serta melawan praktek-praktek yang sifatnya inkonstitusional dalam birokrasi.
      Kabupaen kota yang ada di Maluku Utara pada Umumnya masih berada di atas pusaran konsolidasi pembangunan. Belum terjadi perubahan secara signifikan akibat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat krusial, yakni masih terjebak di bawah arus predikat daerah yang memiliki banyak kasus korupsi. Karena itu, Maluku Utara masih membutuhkan langkah-langkah penyelamatan daerah. Ada 5 poin penting yang harus menjadi pegangan semua figur, yakni mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih, peningkatan infrastruktur penunjang ekonomi lokal, stabilitas keamanan dan ketertiban lokal, pencanangan program pendidikan dan kesehatan gratis, meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang berkesinambungan.
      Olehnya itu, agenda pemilihan kepala daerah kedepan kali ini tidak bisa lepas dari upaya penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses yang demokratis. Ini penting mengingat karakter dan kemampuan berdemokrasi rakyat di Maluku Utara masih sangat lemah, sementara secara faktual, rakyat sebenarnya hidup di ruang yang sangat terbuka. Persoalan mendasar adalah rakyat hidup di tengah demokratisasi yang mulai terbuka lebar pasca lengsernya rezim Orde Baru yang mengiringi kebebasan partisipasi yang luar biasa. Rakyat belum diiringi oleh kematangan mental dan sikap dalam berdemokrasi. Pendeknya, kebebasan berpolitik, tidak ditopang oleh rasionalitas, daya kritis, dan kemandirian berpikir dan bersikap.
      Hal ini sendiri dapat memicu resistensi sesama pendukung ataupun loyalis dari para bakal calon. Tak bisa dipungkiri ketika memory Pilgub tahun 2013 masih membekas di masyarakat. Konsepsi tentang pemilukada yang aman, damai, dan bersih perlu diaplikasikan secara saksama, dan masyarakat akan merasa bahwa suara mereka menjadi terwakilkan dengan adanya keterbukaan dari setiap aktor di pemilukada nanti. Supaya pemilihan bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota tahun 2015 kali ini menjadi suatu momentum politik dalam menggerakan pembangunan di Maluku Utara kedepan yang lebih baik.
      Dan melalui momentum ini, masyarakat diharapkan mampu berpikir bijak dalam menentukan siapa pemimpin terbaik untuk lima tahun kedepan, yang mampu mengakomudir seluruh seluruh kepentingan rakyat. Sudah saatnya kesejahteraan itu hadir, bukan lagi sebatas wacana yang didengungkan, dan bukan lagi sebatas konsep. Karena pada dasarnya “pemilih yang cerdas akan menghasilkan pemimpin cerdas. Dan pemimpin yang cerdas akan menghadirkan kebijakan yang cerdas pula”. (*)

Selasa, 05 Mei 2015

Pembentukan DOB, Solusi atau 'Bencana'

Berbagai macam pemikiran tentang penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah di  Indonesia melalui otonomi daerah (desentralisasi), sebenarnya bukan merupakan  pemikiran baru. Bahkan para pendahulu kita sudah mengemukakan hal tersebut dalam UUD 1945. Ini berarti kepedulian terhadap pentingnya pemberian otonomi kepada daerah sudah terpikirkan sejak lama, yakni sejak Republik ini berdiri. Namun dalam perkembangaannya selama ini, implementasi otonomi masih tersendat-sendat sehingga belum menampakan hasil optimal.
Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam rangka pengelolaan pembangunan di  daerahnya. Kreativitas, inovasi, dan kemandirian diharapkan akan dimiliki setiap daerah, sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungannya pada pemerintah pusat dan yang lebih penting adalah dengan adanya otonomi daerah, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakatnya akan meningkat, baik pelayanan yang sifatnya langsung diberikan maupun yang tidak langsung, seperti pembuatan dan pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya. Dengan kata lain, penyediaan barang-barang (public goods) dan pelayanan publik (public servis) dapat lebih terjamin. Hal tersebut juga bisa dilihat dari tujuan desentralisasi dari segi ekonomi yaitu peningkatan kemapuan pemerintah daerah dalam menyediakan public goods and servis, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah, (Syarif Hidayat,2010).
Berangkat dari konsepsi tersebut, gagasan eksplisit yang kemudian hadir kembali menjadi perbincangan hangat di tingkatan daerah saat ini yaitu tentang konsep Otonomi Daerah atau Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), dimana hal tersebut hadir sebagai bentuk penguatan demokrasi. Bentuk penegasan lahirnya otonomi daerah yaitu dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pembagian urusan pemerintahan), kemudian diperkuat dengan UU No.23 Thn 2014 yang membawa dimensi baru bagi kehidupan masyarakat. Tujuan utama penerapan otonomi daerah yang sebenarnya berintikan dua hal, yakni pertama, untuk menciptakan kesejahteraan, dan kedua, untuk mendukung demokrasi ditingkat lokal. (Edhi T. Hendartno;2009)
Regulasi ini menjanjikan pendelegasian wewenang yang lebih besar bagi daerah, terutama daerah kabupaten/kota. Bagi pemerintah pusat, otonomi daerah juga melepaskannya dari persoalan-persoalan di daerah, sehingga lebih fokus menangani masalah-masalah yang bersifat makro dan berorientasi mempersiapkan Indonesia dalam menghadapi tantangaan globalisasi, terlabih pada ASEAN Community 2015 nanti.
Berangkat dari persoalan tersebut, maka perlu adanya pengaruh serta peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) terhadap otonomi. Setiap daerah di Indonesia umumnya memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup  potensial, tetapi persoalan yang diperhadapkan pada kondisi saat ini adalah mengelolah potensi itu, seperti di Provinsi Maluku Utara. Kita memerlukan keseragaman berpikir agar bisa menghadirkan suatu tindakan yang dimanfaatkan secara maksimal dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Bukan hal yang gampang seperti membalikan telapak tangan untuk melakukan semua itu, sebagai imbasnya masyarakat lokal hanya bisa menonton, sebab yang terjadi adalah masyarakat dari luar daerah yang menjadi pemeran utama, bahkan pihak asingpun ikut memainkan peran. Nah, inilah yang harus menjadi Pekerjaan Rumah buat pemerintah daerah, masyarakat sendiri berpandangan bahwa perlu adanya gebrakan baru, dalam artian masyarakat lokal tersebut diberikan pengetahuan, bimbingan dan sebagainya agar mereka juga bisa ikut terlibat dalam proses pengelolan potensi daerah.
Dalam Study Comparative bisa dikatakan bahwa terjadi sebuah stagnasi dari setiap daerah otonom. Tidak semua daerah di Indonesia keluar dari titik keterpurukan, Aceh, Yogyakarta, dan Papua mengalami hal yang sama walaupun dari ketiga Provinsi tersebut lebih dispesialkan dengan penerapan Otonomi Khusus, dan itu bukan suatu jawaban untuk menjawab problem yang ada. Yang lebih terlihat “aneh” lagi, ada beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Maluku Utara yang kelasnya masih Kota Madya tetapi menginginkan dijadikan Daerah Otonomi Khusus, padahal dalam aturan tidak di isyaratkan seperti itu. Hal-hal seperti inilah yang harus disikapi dengan bijak agar bisa terhindar dari gesekan di tengah masyarakat, terlebih ketika moment-moment politik saat ini (Pilwalkot) yang kemudian menjadi bahan untuk kepentingan politik. Kalau hanya alasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menunjang pembangunan daerah masih cara lain yang bisa dipikirkan bersama, salah satunya memanfaatkan potensi maritim dan pariwisata yang ada.
Namun di satu sisi, dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan daerah masih jauh dari harapan, dan tidak menghadirkan suatu bentuk penegasan. Daerah yang lebih memiliki potensi dan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang besar harus gigit jari ketika apa yang diperoleh sebagian besarnya harus diserahkan ke pusat. Disinilah menjadi titik balik adanya penyelewengan anggaran dan “penistaan” terhadap penerapan otonomi itu sendiri dan sebagai kritik terhadap sistem pengalokasian anggaran yang imbasnya adalah sebuah distorsi pada daerah otonom. Bagi saya tidak ada bedanya  antara Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus, hanya saja semuanya mempunyai tujuan yang sama yaitu kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, perlu adanya sebuah  konsensus yang dilakukan agar dapat mengakumulasi semua problem yang ada, di satu sisi kita dapat mengetahui dimana letak kekurangan dari penerapan otonomi daerah. Ini menjadi suatu momentum politik dalam menggerakan pembangunan di setiap daerah di Indonesia kedepannya yang lebih baik dan menjadi suatu keharusan bagi elite atau aktor politik dalam mensejahterkan rakyat.
Indonesia adalah Negara demokrasi, tetapi kata demokrasi masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih sangat banyak kekurangan dalam penerapan otonomi daerah, apa yang menjadi keinginan, masih jauh dari praktek. Oleh sebab itu, konsepsi tentang otonomi daerah yang berkeadilan perlu diaplikasikan secara saksama, dan masyarakat akan merasa bahwa apa yang mereka inginkan menjadi nyata. Olehnya itu perlu sejumput analisis untuk mengantar suatu pandangan menuju perubahan yang digagas oleh kaum intelektual ataupun generasi lokal. Tentu ini bukan pekerjaan mudah dan membutuhkan komitmen serta loyalitas dari semua elemen, termasuk pemerintah.
 Semoga dengan kedatangan Presiden RI di Maluku Utara, dia bisa melihat secara langsung kondisi yang ada disana (walaupun hanya beberapa jam), seperti masalah pembangunan, ekonomi, sosial-budaya & berbagai sektor lainnya, terlebih daerah yang menginginkan pemekaran. Dengan demikian aktor-aktor yang berada di daerah bisa menjalankan fungsi sebagai mana mestinya, dan tentunya hasil dari Rancangan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonomi Baru bisa memberikan nilai tambah dalam menentukan arah pembangunan daerah, “khususnya” Sofifi sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara yang kita cintai. #Semoga      


Jumat, 22 November 2013

MALUKU UTARA & VISI PEMBANGUNAN DAERAH



Era otonomi daerah yang sedang bergulir di Indonesia dewasa ini secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh yang cukup luas pada tata kehidupan masyarakat,  baik secara nasional maupun local.
Berbagai macam pemikiran tentang penyelenggaraan system pemerintahan daerah (desentralisasi), sebenarnya bukan pemikiran baru. Bahkan para pendahulu kita sudah mengemukakan hal tersebut dalam UUD 1945. Ini berarti kepedulian terhadap pentingnya pemberian otonomi kepada daerah sudah terpikirkan sejak lama, yakni sejak Republik ini berdiri. Namun dalam perkembangnannya selama ini, implementasi otonomi masih tersendat-sendat sehingga belum menampakan hasil optimal.
Ketika era reformasi bergulir pada pertengahan 1997, dan mencapai klimaks dengan jatuhnya rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan presiden Soeharto pada  bulan Mei 1998, tuntutan utnuk diberlakukannya otonomi daerah secara lebih luas kembali marak dan berkembang hampir disetiap lapisan masyarakat, baik ditingkat elit pusat maupun daerah.
Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam rangka pengelolaan pembangunan di  daerahnya. Kreativitas, inovasi, dan kemandirian diharapkan akan dimiliki setiap daerah, sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungannya pada pemerintah pusat dan yang lebih penting adalah dengan adanya otonomi daerah, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakatnya akan meningkat, baik pelayanan yang sifatnya langsung diberikan maupun yang tidak langsung, seperti pembuatan dan pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan fasilitas social lainnya. Dengan kata lain, penyediaan barang-barang (public goods) dan pelayanan public (public servis) dapat lebih terjamin.
Mekanisme dan prosedur yang ada cenderung sebatas formalitas, karena pada akhirnya keputusan yang diambil sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah, yang seringkali berbeda dengan apa yang sudah disepakati dalam suatu musyawarah yang melibatkan masyarakat. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami masyarakat daerah tapi juga oleh pemerintah  daerah sendiri yang ketika harus berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pemerintah pusat, sehingga nuansa top down masih lebih dominan dibandingan dengan bottom up planning-nya.
Menyadari pentingnya desentralisasi, proses pembangunan di daerah mestinya tidak hanya diwujudkan dalam bentuk formal kebijaksanaan saja, seperti adanya mekanisme musbangdes, UDKP, sampai pada Rakorbang, melainkan lebih dari itu, yaitu bagaimana mewujudkan secara optimal, melalui tataran implementasi yang sebenarnya. Sudak cukup banyak konsep, kebijakan dan upaya-upaya utnuk mewujudkan otonomi dan desentralisasi dalam system pemerintahan di Indonesia, namun hasilnya tidak selalu lebih dai “pemanfaaatan” sumber daya daerah untuk membangun sentra-sentra pembangunan dan pertumbuhan di daerah-daerah tertentu (misalnya: Jawa, Bali), sehingga tidak ada pemerataan pembangunan yang berarti, yang dapat di rasakan daerah-daerah lain (diluar Jawa). Bahkan ironisnya lagi, justru banyak potensi diluar Jawa yang banyak menyumbang dalam pembangunan nasional, tetapi daerah itu sendiri tetap terbelakang.
Implemantasi otonomi daerah harus lebih berorientasi pada upaya “pemberdayaan” daerah, bila dilihat dari konteks kewilayahan (teritorial), sedangkan bila dilihat dari struktur tata pemerintahan, berupa pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelolah sumber-sumber daya yang dimilikinya dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip kesatuan bangsa dan Negara. Kemudian dalam konteks kemasyarakatan, pemberdayaan yang diupayakan harus lebih berorientasi pada pemberdayaan masyarakat di masing-masing daerah, sehingga mereka lebih berpartisipasi dalam pembangunan, khusunya didaerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing. Di sinilah peran pemerintah menjadi factor yang sangat penting untuk mewujudkannya.
Beberapa keuntungan yang dapaat diraih dengan diterapkannya system desentralisasi, sebagai mana yang dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1995), antara lain:
v  Pertama, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi. Lembaga tersebut dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan
v  Kedua, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih efektif. Para pegawai yang berada dilini depan (front liners) paling dekat dengan masalag dan peluang, dan mereka lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi, sehingga dapat mengambil keputusan apa yang diperlukan.
v  Ketiga, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif dari pada yang tersentralisasi. Inovasi biasanya tidak terjadi karena sesorang berada pada pucuk pimpinan, tetapi sering muncul gagasan yang baik dari pegawai yang benar-benar melaksanakan pekerjaan dan berhubungan dengan pelanggan.
v  Keempat, lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih produktivitasnya. Pemberian kepercayaan kepada pegawai untuk mengambil keputusan yang penting dalam tugasnya dapat menjadi motivasi bagi mereka, sehingga akan berpengaruh pada tingkat produktivitas mereka
Konsep yang dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler tersebut memang lebih terfokus pada organisasi-organisasi bisnis, namun dari konsep yang diambil dari pengalaman praktis dari para professional bisnis tersebut kita dapat mengambil prinsip-prinsip universal yang dapat dikembangkan pula dalam organisasi public.
Secara umum nilai filosofi  yang perlu dipahami baik oleh pemerintah pusat maupun daerah bahwa desentralisasi bukan sekedar strategi untuk pelimpahan/penyerahan kewenangan, melainkan juga merupakan suatu system yang komprehensif yang melibatkan berbagai proses dan aspek didalamnya, seperti proses koordinasi, pelaksanaannya, pertanggungjawabannya, pengawasannya, berikut aspek-aspek kultur, social, ekonomi, poltik, hukum, dan sebagainya. Keseluruhan hal tersebut akan diwarnai oleh nilai-nilai yang menjadi prinsip filosofisnya.
Menurut  Mustopodidjaja (1999), dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik, ada tujuh prinsip yang perlu dikembangkan dan di implementasikan dengan segala konsekuensi dan implikasinya, yaitu:
v  Demokrasi dan pemberdayaan;
v  Pelayanan;
v  Transparansi dan akuntabilitas;
v  Partisipasi;
v  Kemitraan;
v  Desentralisasi;
v  Konsistensi kebijaksanaan dan kepastian hukum.
Meskipun lebih mengarah pada upaya penyelenggaraan pemerintahan secara lebih luas, dimana desentralisasi hanya merupakan salah satu bagian saja, prinsip-prinsip tersebut juga ideal untuk diterapkan dan dianut dalam konteks otonomi. Ketujuh prinsip tersebut saling mempengaruhi dan saling melengkapi, dan penerapannya harus dilakukan secara bersamaan dengan sinergi yang tinggi.